Posts

Highlighted Post

My Blog's Name

Image
Vent It Out: Venting through the veins. Singkat cerita. Aku pernah punya blog kemudian dihapus karena isinya nirfaedah. Agak menyesal sih setelah menghapusnya. Karena bagaimanapun, blog tersebut seperti wadah penampung pikiran yang setidaknya bisa mendorong aku untuk menulis. Ya meskipun menulisnya rutin setahun tiga kali pun tidak. Hehehe.  "Kenapa harus pakai nama itu?" Awalnya makin ke sini aku makin sadar bahwa menuangkan ide atau pikiran ke dalam sebuah tulisan itu penting. Meskipun begitu, menulis tidaklah mudah (buat aku pribadi). Masih perlu banyak latihan lah. Kemampuan menulisku kurang apalagi aku bukan tipe orang yang sebelumnya biasa berbagi melalui tulisan, sekalipun itu  diary . (Yah, bisanya nge- tweet  gak jelas di Twitter, sih). Karena ketidakmudahanku untuk menulis itulah, aku namai blog ini  Vent It Out: Venting through the veins. vent   /vent/ noun 2 . the expression or release of a st

Dari Mana Datangnya Insecurity Itu?

Ketika memikirkan diriku saat di bangku SD, yang ada dalam ingatanku adalah sosok lemah dan pendiam. Aku sadar aku tumbuh sebagai anak kecil yang tidak percaya diri.  Sumbernya adalah kecelakaan yang kualami saat TK. Ceritanya aku sedang bermain dengan adikku. Dia bersama mobil-mobilannya yang diikat tali rapia. Di luar ada kakak perempuan keduaku yang sedang menjemur pakaian. Mamah sedang dagang dan bapak narik angkot. Kakak perempuanku yang pertama sedang di rumah nenek. Kurang lebih begitulah ingatanku saat itu dan saat-saat begitu biasanya disebut: calm little moments before the storm . Saat itu di dapur kompor menyala sedang dipakai untuk menanak nasi. Dulu masih kompor minyak. Entah bagaimana, yang kuingat adikku ingin memotong tali rapia di mobil-mobilannya.  Aku pun menolongnya dengan menggunakan colokan minyak tanah dengan api menyala yang biasa dipakai untuk menyalakan kompor yang entah aku harus menyebutnya apa. Tali rapia pun berhasil terpotong. Colokannya masih berapi dan

"Biarin Aja, Dia Emang Kayak Gitu"

Pernah kan denger kata-kata kayak gitu?  Biasanya kata-kata tersebut keluar ketika kamu ngerasa disakiti, didzolimi, pokoknya merasa jadi pihak yang dirugikan atas tindakan seseorang.  Tapi kemudian temen kamu ngeluarin kata-kata ajaib tadi, dengan maksud baik sih.  Bisa dibilang temen kamu melihat sisi dimana kamu beresiko menjadi pihak yang merugi sendirian jika terlalu memikirkan seseorang yang telah merugikan atau menyakiti kamu, karena belum tentu seseorang tersebut memikirkan tindakannya sendiri. Misalnya kayak, seseorang biasanya dikenal dengan kepribadian dan tindakan tertentu.  Katakanlah, dia kasar dan selalu mencemooh temannya.  Suatu hari kamu jadi korban cemoohan dia.  Kamu merasa jadi korban dan teman kamu malah bilang, "udah biarin aja, dia emang kayak gitu."  Loh???  Kok jadi kita yang menormalisasi sikap negatif dia sih?  Kita yang dirugikan, tapi kita yang harus toleransi?  Gak fair lah. Ternyata, dengan bodo amat begitu katanya hidup kita bisa jadi

Surat untuk Ayah

Ini adalah tulisan lamaku. Aku publikasi ulang tanpa diberi perubahan.  Pukul 22:18.  Minggu, 06 Desember 2015. Sampai pada hari meninggalnya Ayah, aku tidak pernah bisa mengerti dirimu. Yang aku tahu hanya meminta uang jajan dari Ayah. Aku tidak pernah membuat bangga Ayah selama Ayah masih hidup. Aku tidak melakukan banyak hal yang menyenangkan bersama Ayah selama Ayah masih hidup. Aku hanya bisa merengek, membuat Ayah marah, membuat Ayah lelah, sampai pada hari meninggalnya Ayah, aku tidak pernah bisa membuat Ayah tersenyum. Aku hanya membebani Ayah. Ayah, Ayah tidak seharusnya pergi begitu saja... Pada hari itu, sebelum Ayah meninggal, saat Fajar aku masih tidur. Namun dengan setengah tersadar, aku bisa mendengar suara Ayah yang sedang berbincang dengan Uwa. Tidak ada firasat buruk atau apapun. Aku hanya kembali tertidur. Ayah yang akan pergi bekerja, seharusnya aku bangun dan keluar saat itu. Setidaknya Ayah bisa berbincang denganku untuk terakhir kalinya. Siapa sangka sesuatu akan

Tanya Kapal Kemana Berlabuh

Ini adalah tulisan lamaku. Aku publikasi ulang tanpa diberi perubahan.  08 Maret 2015 08.13 WIB Hai, Jou!  Aku sedang bingung.  Rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya, tapi tertahan lagi.  Aku tak suka menjadi seperti ini.  Kau tahu dia kan, Jou? Aku sedang memikirkan perasaanku terhadapnya. Bila dipikirkan lagi, aku bahkan tak terlalu mengenal dirinya dengan baik. Aku merasa begitu bodoh dan melakukan hal yang sia-sia. Hampir 6 tahun aku mengindahkannya. Tapi pernahkah dia mengindahkanku selama 6 tahun ini, Jou? Bahkan jawabannya tidak akan ya ataupun tidak. Ini seperti diombang-ambing oleh ombak yang tak tentu arah, membuatku mual. Meski begitu, aku tetap menikmati keindahan lautnya. Bukankah itu sesuatu yang bodoh? Bila aku tak tahan dengan ombaknya, bukankah lebih baik aku naik saja ke daratan? Tentu saja aku ingin menuju daratan. Tapi kapal ini seperti membawaku ke arah lain. Bisakah kau tanya kemana kapal ini akan berlabuh, Jou?

You've Visited Me Once, I Know You'll Visit Me Again

First of all, thank you for checking on me. I don't care if it's based on your guilty feeling or maybe you just missed me. One thing for sure, I'm alive and still alive. Because these words are speaking to you and forever will be. You don't need to know how hard it is for me. As you can see... I'm still managed to write things out. I'm still capable... At least until you read this. No, I'm not seeking help. But don't worry, I'm healing. And no, it's not your mistake. Well... Sometimes I hate you and curse you. But it's okay. Because I hate myself even more. Make sure you're doing good and keep this on your mind: I miss you and I'd always miss you. I'm glad you've found me.  But...  I'd be so much happier if it's broad daylight when you found me.